KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN
NOMOR : KM. 28 TAHUN 2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 4 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN RENCANA DASAR TEKNIS NASIONAL 2000 (FUNDAMENTAL TECHNICAL PLAN NATIONAL2000) PEMBANGUNAN TELEKOMUNIKASI NASIONAL
MENTERI PERHUBUNGAN,
Menimbang : a. bahwa sebagai tindaklanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, telah ditetapkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 4 Tahun 2001 tentang Penetapan Rencana Dasar Teknis Nasional 2000 (Fundamental Technical Plan National 2000) Pembangunan Telekomunikasi Nasional;
b. bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas, merupakan kewajiban bagi penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dalam melakukan pembangunan atau penyediaan jaringan telekomunikasi, sehingga menjamin ketersambungan satu jaringan ke jaringan lainnya;
c. Bahwa dalam rangka mengantisipasi pengakhiran hak eksklusifitas di bidang telekomunikasi dan diberlakukannya kompetisi penyelenggaraan telekomunikasi, perlu dilakukan perubahan ketentuan mengenai Penetapan Rencana Dasar Teknis tersebut diatas dengan Keputusan Menteri Perhubungan;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3881);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3980);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuansi Radio dan Orbit Satelit (Lembaran Naegara Tahun 2000 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3981);
4. Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2002;
5. Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2000 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 2002;
6. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 4 Tahun 2001 tentang Penetapan Rencana Dasar Teknis Nasional 2000 (Fundamental Technical Plan National 2000) Pembangunan Telekomunikasi Nasional;
7. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 24 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 91 Tahun 2002;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM. 4 TAHUN 2001 TENTANG PENETAPAN RENCANA DASAR TEKNIS NASIONAL 2000 (FUNDAMENTAL TECHNICAL PLAN NATIONAL 2000) PEMBANGUNAN TELEKOMUNIKASI NASIONAL.
Pasal 1
A. Mengubah ketentuan pada Bab II Butir 1.3.c) sehingga berbunyi sebagai berikut :
Dalam melakukan panggilan SLJJ pelanggan memilih jasa SLJJ yang akan digunakannya.
Prosedur pemanggilan dalam melakukan panggilan SLJJ adalah pelanggan memilih jasa SLJJ yang akan melayani panggilannya setiap kal pelanggan membuat panggilan SLJJ (call-by-call). Untuk keperluan itu bagi setiap penyelenggaraan jasa SLJJ harus dialokasikan prefiks (kode akses) SLJJ yang berbeda (unik).
Setiap penyelenggara jaringan dan jasa teleponi dasar wajib menjamin bahwa semua prefiks (kode akses) Jasa Teleponi Dasar SLJJ ke setiap penyelenggara SLJJ, dapat diakses dari setiap terminal peanggan secara otomatis (Normally Opened).
B. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 2.e, sehingga berbunyi:
e. Prefiks
Suatu indikator yang terdiri atas satu digit atau lebih, yang memungkinkan pemilihan berbagai jenis format nomor (lokal, nasional dan internasional), pemilihan jasa telekomunikasi. Prefiks bukan bagian dari nomor dan tidak diteruskan ke batas antar-jaringan di dalam negeri atau ke batas jaringan internasional.
C. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 2.g, sehingga berbunyi:
g. Prefiks SLI
Kombinasi digit terdiri atas prefiks internasional dan suatu kode yang mencirikan penyelenggara jasa SLI tertentu. Prefiks SLI digunakan oleh pelanggan dalam pembuatan sambungan langsung internasional (SLI), untuk memilih jasa SLI yang akan melayani panggilannya.
D. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 2.i, sehingga berbunyi:
i. Prefiks SLJJ
Kombinasi digit terdiri atas prefiks nasional dan suatu kode yang mencirikan penyelenggara jasa SLJJ tertentu. Prefiks SLJJ digunakan oleh pelanggan dalam pembuatan sambungan langsung jarak jauh (SLJJ), untik memilh jasa SLJJ yang akan melayani panggilannya.
E. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 2.j, sehingga berbunyi:
j. Prefiks ITKP
Kombinasi digit terdiri atas prefiks nasional dan suatu kode yang mencirikan penyelenggara jasa ITKP satu-tahap tertentu. Prefiks ITKP digunakan oleh pelanggan dalam pembuatan sambungan jarak jauh nasional atau sambungan internasional, untuk memilih penyelenggara jasa ITKP satu-tahap yang akan melayani panggilannya.
Catatan :
ITKP dua-tahap menggunakan kode akses berupa nomr pelanggan yang diperpendek, dan tidak menggunakan prefiks.
F. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 2.v, sehingga berbunyi:
v. Nomor Khusus
Nomor pelanggan telepon yang diperpendek yang diberikan kepada badan atau institusi tertentu, dengan maksud agar masyarakat mendapat kemudahan jika hendak berhubungan dengan badan atau institusi yang bersangkutan.
Berdasarkan penggunaannya nomor khusus dibagi dalam 3 kategori berikut:
- Nomor pelayanan darurat
Nomor khusus yang digunakan untuk mengakses instansi yang menangani masalah-masalah darurat, yaitu polisi, ambulans, pemadam kebakaran, dan SAR.
- Nomor pelayanan pelanggan
Nomor yang digunakan untuk mengakses pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara telekomunikasi dengan tujuan untuk mempermudah atau mempercepat pelayanan kepada pelanggan.
- Nomor pelayanan umum
Nomor khusus yang digunakan untuk mengakses badan atau institusi tertentu, bukan penyelenggara telekomunikasi, yang berurusan dengan kepentingan masyarakat luas dengan tujuan untuk mempermudah atau mempercepat pelayanan kepada masyarakat.
G. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 2.x, sehingga berbunyi:
x. Jasa SLJJ
Penyelenggaraan jasa teleponi dasar yang melayani pengguna dalam pelaksanaan sambungan telepon jarak jauh.
H. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 2.y, sehingga berbunyi:
y. Jasa SLI
Penyelenggaraan jasa teleponi dasar yang melayani pengguna dalam pelaksanaan sambungan telepon langsung internasional.
I. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 3.1.3 a), sehingga berbunyi:
a) Untuk penyelenggaraan jaringan tetap lokal dan ISDN, dialokasikan nomor untuk pelanggan yang tidak ada duanya di tingkat lokal, nasional maupun internasional.
J. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 3.1.3 b), sehingga berbunyi:
b) Untuk penyelenggaraan jaringan bergerak, dialokasikan nomor untuk pelanggan yang tidak ada duanya di tingkat nasional dan internasional.
K. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 3.1.3 c), sehingga berbunyi:
c) Untuk penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi dengan liputan nasional, dialokasikan nomor bagi penyelenggara jasa nilai tambah, yang tidak ada duanya di tingkat nasional. Struktur di tingkat internasional dapat dibuat, ika diperlukan.
L. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 4.2.2.1, sehingga berbunyi:
Dalam lingkungan multi-penyelenggara pelanggan harus memilih penyelenggara jasa SLJJ yang akan melayani panggilannya. Setiap kali membuat panggilan SLJJ pelanggan memilih jasa SLJJ yang akan melayani panggilannya (call-by-call).
M. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 4.2.2.2, sehingga berbunyi:
Untuk membuat panggilan SLJJ melalui jasa SLJJ yang dipilihnya sendiri secara langsung per panggilan, pengguna harus memutar Prefiks SLJJ, diikuti dengan Nomor (Signifikan) Nasional dai pelanggan yang dituju.
N. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 4.2.2.3.
O. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 4.2.3.1, sehingga berbunyi:
Dalam melakukan panggilan SLI pelanggan memilih jasa SLI yang akan digunakannya.
Prosedur pemanggilan dalam melakukan panggilan SLI adalah pelanggan memilih jasa SLI yang akan melayani panggilannya setiap kali pelanggan membuat panggilan SLI (call-by-call). Untuk keperluan itu bagi setiap penyelenggaraan jasa SLI harus dialokasikan prefiks (kode akses) SLI yang berbeda (unik).
Setiap penyelenggara jaringan dan teleponi dasar wajib menjamin bahwa semua prefiks (kode akses) Jasa Teleponi Dasar SLI ke setiap penyelenggara jasa SLI dapat diakses dari setiap terminal pelanggan secara otomatis (Nomally Opened).
P. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 4.2.3.2, sehingga berbunyi:
Untuk berkomunikasi dengan pelanggan di negara lain, melalui jasa sambungan internasional yang dipilihnya sendiri secara langsung, pelanggan Indonesia dapat melakukan dua macam panggilan sambungan internasional, yaitu:
a) Panggilan internasional tanpa pemberitahuan biaya
Panggilan ini diproses jaringan tanpa permintaan dari pelanggan untuk memperoleh informasi tentang biaya percakapan
b) Panggilan internasional dengan pemberitahuan biaya
Pemberitahuan biaya diberikan pada akhir percakapan dan dalam hal ini pelanggan pemanggil harus menyisipkan digit ‘0’ di belakang prefiks SLI, sebagai berikut:
Q. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 4.2.3.3, sehingga berbunyi:
Dalam hal panggilan SLI disalurkan melalui jaringan SLJJ, pemilihan jaringan (ruting trafik) SLJJ dilakukan berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara jasa SLI dan penyelenggara jaringan terkait, menggunakan ruting terpendek dan paling efisien.
R. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 4.4.2.2, sehingga berbunyi:
Tergantung pada kesepakatan antara jaringan STBS dan penyelenggara jasa teleponi dasar sambungan jarak jauh, panggilan ke terminal PSTN/ISDN dari terminal STBS dapat dilakukan dengan memutar Prefiks SLJJ sebagai pengganti Prefiks Nasional. Dalam hal ini panggilan disalurkan melalui jasa teleponi dasar sambungan jarak jauh yang dipilih oleh pelanggan.
S. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 5.2.2.1, sehingga berbunyi:
Format untuk Prefiks SLI adalah ‘00X’, dimana 00 adalah prefiks internasional dan X = 1…9 mencirikan penyelenggara jasa teleponi dasar sambungan internasional.
T. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 5.2.4.1, sehingga berbunyi:
Format untuk Prefiks SLJJ adalah ‘01X’, dimana 0 adalah prefiks nasional dan X = 1…9 mencirikan penyelenggara jasa teleponi dasar sambungan jarak jauh.
Penyelenggara yang selama ini menggunakan digit “0” sebagai prefiks SLJJ, diberikan tenggang waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun untuk melakukan perubahan format prefiks SLJJ menjadi 01X terhitung sejak ditetapkannya Keputusan ini.
U. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 5.2.5.1, sehingga berbunyi:
Format untuk Prefiks ITKP adalah ‘010XY’, dimana XY (X=0, 1…9 dan Y≠0 mencirikan penyelenggara jasa ITKP satu-tahap (single stage).
ITKP dua-tahap tidak memerlukan prefiks. Untuk ITKP dua-tahap digunakan kode akses berupa nomor pelanggan yang diperpendek dengan format ‘170XY’.
V. Mengubah Ketentuan pada Bab II Butir 5.2.5.3.
W. Mengubah Ketentuan pada Bab Lampiran II, sehingga berbunyi:
LAMPIRAN 2: Ikhtisar Peruntukan Nomor
KOMBINASI DIGIT |
PERUNTUKAN |
CATATAN |
11X :
|
Nomor panggilan darurat 110 – Polisi 112 – Panggilan darurat (yanmas POLRI), khusus untuk terminal STBS 113 – Pemadan kebakaran 115 – S A R 118 - Ambulans
|
|
12X(Y)(Z) |
Penggunaan akan diatur lebih lanjut |
|
13X(Y)(Z) |
Penggunaan akan diatur lebih lanjut |
|
130XY |
Kode Akses untuk RPUU |
X,Y = 0, 1 -9 |
14X(Y)(Z) |
Penggunaan akan diatur lebih lanjut |
|
15X(Y)(Z) |
Penggunaan akan diatur lebih lanjut |
|
16X(Y)(Z) |
Penggunaan akan diatur lebih lanjut |
|
17X(Y)(Z) |
Penggunaan akan diatur lebih lanjut |
X ≠ 0 |
170XY |
Kode Akses untuk ITKP dua tahap |
X,Y = 0, 1 – 9 |
18X(Y)(Z) |
Penggunaan akan diatur lebih lanjut |
|
19X(Y)(Z) |
Penggunaan akan diatur lebih lanjut |
|
10X(Y)(Z) |
Penggunaan akan diatur lebih lanjut |
|
Xyyyy…. |
Nomor pelanggan PSTN |
X = 2 – 9 |
0 |
Prefiks Nasional |
|
00X |
Prefiks SLI |
X = 1 – 9 |
000 |
Penggunaan akan diatur lebih lanjut |
|
01X |
Prefiks SLJJ |
X = 1 – 9 |
010XY |
Prefiks ITKP satu tahap |
X = 0; 1 – 9; Y ≠ 0 |
(0)A(C) |
Kode Wilayah |
A = 2 – 7; 9; B,C=0; 1-9 |
(0)81X |
NDC untuk STBS nasional |
|
(0)82X |
NDC untuk STBS nasional |
|
(0)83X |
NDC untuk STBS nasional |
|
(0)84X |
NDC untuk STBS nasional |
|
(0)85X |
NDC untuk STBS nasional |
|
(0)86X(Y) |
Kode Akses ke jaringan berbasis packet switched |
|
(0)87X |
Penggunaan akan diatur lebih lanjut |
|
(0)88X |
Penggunaan akan diatur lebih lanjut |
|
(0)89X |
Penggunaan akan diatur lebih lanjut |
|
(0)80X |
Pelayanan IN nasional : (0)801 – Universal Personal Telecommunication (UPT) (0)802 – Cadangan untuk UPT (0)803 – Cadangan untuk UPT (0)804 – Cadangan untuk UPT (0)805 – Virtual Private Network (VPN) (0)806 – Mass Calling (MAS) (0)807 – Universal Access Number (UAN) (0)808 – Credit/Account Card Calling (CCC/ACC) (0)809 – Premium Call (PRM) (0)800 – Freephone (FPH) |
X. Mengubah Ketentuan pada Bab III Butir 2 huruf f, sehingga berbunyi:
f. Sentral gerbang (gateway)
Perangkat dalam suatu jaringan yang merupakan gerbang ke jaringan lain, dan langsung berhubungan dengan sentral gerbang jaringan lain melalui titik interkoneksi;
Y. Mengubah Ketentuan pada Bab III Butir 3.2.1, sehingga berbunyi:
Hakekat interkoneksi antar-jaringan adalah interkoneksi antar sentral gerbang.
Dalam penyelenggaraan jasa teleponi, sentral gerbang antara lain mempunyai fungsi sebagai berikut:
· Mengisolasi jaringan penyelenggara yang satu dari jaringan penyelenggara yang lain, sehingga gangguan yang terjadi di jaringan penyelenggara yang satu tidak sampai menjalar ke jaringan penyelenggara yang lain;
· Merekam data-data semua tipe panggilan (incoming, outgoing dan transit) untuk keperluan pembebanan antar penyelenggara dan statistik;
· Mengatur aliran trafik antara kedua jaringan yang diinterkoneksikan;
· Menyaring message CCS No. 7 yang tidak boleh transit/ masuk ke jaringan.
· Melaksanakan fungsi switching, untuk penyambungan dan pemutusan sirkuit komunikasi terkait.
Z. Menambah Butir 3.2.3 pada Bab III, yang berbunyi:
Sentral gerbang tidak perlu dikhususkan untuk keperluan interkoneksi antar jaringan. Disamping fungsi tersebut di atas, sentral gerbang tetap berfungsi sebagai sentral atau simpul switching.
Dilain pihak, fungsi-fungsi sentral gerbang tidak harus seluruhnya terkumpul di satu perangkat. Atas pertimbangan teknis dan/atau ekonomis, fungsi-fungsi sentral gerbang dapat disebar dibeberapa perangkat yang berada di lokasi geografis yang berbeda dengan memanfaatkan kemampuan remote processing.
AA. Mengubah Ketentuan pada Bab III Butir 4.2.2, sehingga berbunyi:
Sebagai standar pensinyalan dapat digunakan Sistem Pensinyalan ITU-T No.7 (CCS No.7) atau sistem pensinyalan lainnya, dengan ISDN User Part (ISUP) seperti dispesifikasikan dalam Rekomendasi ITU-T Q.761-764.
BB. Mengubah Ketentuan pada Bab III Butir 4.6, sehingga berbunyi:
4.6. Standar Pensinyalan Interkoneksi
Jaringan penyelenggara dapat menggunakan teknologi digital atau teknologi pensinyalan lainnya (sesuai kesepakatan bilateral antara penyelenggara jaringan).
Oleh karena itu interkoneksi antar-jaringan di Indonesia menggunakan pensinyalan CCS No.7 yang dispesifikasikan dalam Rekomendasi ITU-T Q.700 sampai Q.821 [6] (lihat LAMPIRAN 1). Untuk pelayanan telepon/ISDN digunakan subset ISUP yang diberikan dalam LAMPIRAN 2.
CC. Mengubah Ketentuan pada Bab IV Butir 1.1.3, sehingga berbunyi:
Pembebanan antar penyelenggara jaringan dirundingkan oleh penyelenggara- penyelenggara yang bersangkutan, antara lain berpedoman pada dan berdasarkan persyaratan yang dirumuskan dalam Bab ini. Kesepakatan dalam masalah pembebanan merupakan bagian dari perjanjian kerjasama (PKS) antara dua penyelenggara jaringan atau lebih.
DD. Mengubah Ketentuan pada Bab IV Butir 2.f, sehingga berbunyi:
Panggilan satu atau lebih hubungan telekomunikasi yangdibentuk antara dua pengguna atau lebih melalui satu jaringan atau lebih, dan atau pengguna layanan yang diselenggarakan oleh jaringan itu. (Rekomendasi ITU-T Q.9)
EE. Mengubah Ketentuan pada Bab IV Butir 4.2, sehingga berbunyi:
4.2 Pembebanan atas penggunaan jasa interkoneksi
Dalam sektor telekomunikasi yang sudah dideregulasi, profil suatu panggilan yang tipikal adalah sebagai berikut: Panggilan berawal dari suatu jaringan dan berakhir pada jaringan yang lain. Gambar 2 memberikan ilustrasi mengenai suatu skenario panggilan yang tipikal.
Jaringan A, yang merupakan tempat berawalnya panggilan, dapat berupa jaringan tetap lokal atau jaringan bergerak; demikian juga halnya dengan jaringan C, yang merupakan tempat berakhirnya panggilan. Dalam hal terdapat interkoneksi langsung antara jaringan awal A dan jaringan akhir C, jaringan B yang berfungsi sebagai jaringan transit pada umumnya tidak diperlukan.
Skenario panggilan tipikal ini melibatkan jaringan A sebagai segmen jaringan asal (originasi), jaringan B sebagai segmen jaringan transit dan ), jaringan C sebagai segmen jaringan tujuan (destinasi/terminasi) dan satu penyelenggara jasa(jasa teleponi dasar, atau jasa lainnya) yang bertanggug jawab atas terlaksananya keterhubungan antara jaringan A,BdanC. Penyelenggara jasa yang dimaksud adalah penyelenggara jasa yang dipilih oleh pelanggan secara langsung untuk melaksanakan panggilannya.
Dalam contoh skenario diatas jaringan A berhak terhadap biaya interkoneksi originasi, jaringan B berhak terhadap biaya interkoneksi transit dan jaringan C berhak terhadap biaya interkoneksi terminasi yang pada dasarnya akan dibayarkan oleh penyelenggara jasa kepada masing-masing penyelenggara jaringan. Sedangkan penyelenggara jasa memiliki hak terhadap tarif pungut yang dibayarkan oleh pelanggan. Komponen pembebanan atas pemakaian jasa interkoneksi (tarif interkoneksi) yang dapat berupa jasa originasi, jasa transit maupun jassa terminasi, terdiri atas:
a) pembebanan jasa akses (lihat butir 4.2.1);
b) pembebanan pemakaian (usage charge) segmen akhir (terminating) yang dimulai dari titik interkoneksi (lihat butir 4.2.2);
c) pembebanan biaya perintisan dan pelayanan umum (Universal Service Obligation/USO) (lihat butir 4.2.3);
FF. Mengubah Gambar 3 pada Bab IV Butir 5.2.1 menjadi:
GG. Mengubah Ketentuan pada Bab IV Butir 5.2.2, sehingga berbunyi:
MS A’ yang sedang menjelajah di jaringan B mengadakan panggilan ke pelanggan PSTN C’.
Pembebanan:
A’ akan menerima tagihan dari HPLMN-A berdasarkan data yang diterima dari VPLMN-B.
Akonting:
Penyelenggara jaringan A akan didebet oleh penyelenggara jaringan B sesuai dengan biaya jelajah MS A’ di jaringan B.
HH. Mengubah Ketentuan pada Bab IV Butir 5.2.3, sehingga berbunyi:
Pelanggan PSTN C’ mengadakan panggilan ke MS B’ di jaringan B (MS tidak sedang menjelajah).
Pembebanan:
C’ akan menerima tagihan dari PSTN berdasarkan nomor yang dipilihnya (dialled number).
Akonting:
Penyelenggara PSTN akan didebet oleh penyelenggara jaringan B atas pemakaian jasa interkoneksinya untuk panggilan ini. Transaksi ini sudah termasuk kedalam akonting trafik outgoing dari PSTN ke jaringan B.
II. Mengubah Ketentuan pada Bab IV Butir 5.2.4, sehingga berbunyi:
Penyelenggara PSTN C’ mengadakan panggilan ke MS A’ yang sedang menjelajah di jaringan B. Ada dua kasus ditemukenali disini: kasus pertama apabila MS A’ tidak mengaktifkan supplementary service Call Forwarding Unconditional (CFU), sedang kasus kedua CFU diaktifkan.
MS A” tidak mengaktifkan CFU
C’ dijawab oleh rekaman suara (announcement) di jaringan A yang mengatakan bahwa A’ sedang menjelajah, panggilan tidak diteruskan.
Pembebanan:
C’ akan menerima tagihan dari PSTN berdasarkan nomor yang dipilihnya.
Akonting:
Tidak ada transaksi
MS A’ mengaktifkan CFU
Panggilan secara otomatis diterusakn melalui PSTN kepada A’ yang sedang menjelajah di VPLMN-B (CFU).
Pembebanan:
C’ akan menerima tagihan dari PSTN berdasarkan nomor yang dipilihnya dari PSTN.
A’ mungkin ditagih HPLMN-A atas segmen panggilan yang diteruskan (forwarded segment).
A’ ditagih HPLMN-A berdasarkan data yang diterima dari VPLMN-B kepada A’ berhubung pemakaian jaringannya untuk menerima panggilan.
Akonting:
Penyelenggara jaringan A akan didebet oleh penyelenggara PSTN atas pemakaian jasa interkoneksinya untuk meneruskan panggilan ke A’ yang ada di VPLMN-B. Transaksi ini sudah termasuk dalam akonting trafik outgoing dari jaringan A ke PSTN.
Penyelenggara PSTN akan didebet oleh penyelenggara jaringan B atas pemakaian jasa interkoneksinya untuk segmen panggilan yang diteruskan. Transaksi ini sudah termasuk dalam akonting trafik outgoing dari PSTN ke jaringan B.
JJ. Mengubah Ketentuan pada Bab IV Butir 5.2.5, sehingga berbunyi:
MS A’ di jaringan induknya (HPLMN-A) mengadakan panggilan ke MS B’ di jaringan induknya (HPLMN-B) yang ditransitkan melalui PSTN.
Pembebanan:
A’ menerima tagihan dari HPLMN-A atas hubungannya dengan B’ berdasarkan nomor yang dipilihnya (dialled number).
Akonting:
Penyelenggara jaringan A akan didebet oleh penyelenggara PSTN atas pemakaian jasa interkoneksinya untuk meneruskan panggilan dari A’ ke B’. Transaksi ini sudah termasuk dalam akonting trafik outgoing dari jaringan A ke PSTN.
Penyelenggara PSTN akan didebet oleh penyelenggara jaringan B atas pemakaian jasa interkoneksinya untuk menerusakan panggilannya sampai ke MS B’. Transaksi ini sudah termasuk dalam akonting trafik outgoing dari PSTN ke jaringan B.
KK. Mengubah Ketentuan pada Bab IV Butir 5.2.6, sehingga berbunyi:
MS A’ di jaringan induknya (HPLMN-A) mengadakan panggilan ke MS A’ yang sedang menjelajah di jaringan B (dengan CFU berlaku untuk A’) yang ditransitkan melalui PSTN.
Pembebanan:
A” menerima tagihan dari HPLMN-A berdasarkan air time.
A’ mungkin ditagih HPLMN-A atas segmen panggilan yang diteruskan (forwarded segment).
A’ ditagih oleh HPLMN-A berdasarkan data yang diterima dari VPLMN-B kepada A’ berhubung pemakaian jaringannya untuk menerima panggilan.
Akonting:
Penyelenggara jaringan A akan didebet oleh penyelenggara PSTN atas pemakaian jasa interkoneksinya untuk meneruskan panggilan ke A’ yang ada di VPLMN-B. Transaksi ini sudah termasuk dalam akonting trafik outgoing dari jaringan A ke PSTN.
Penyelenggara PSTN akan didebet oleh penyelenggara jaringan B atas pemakaian jasa interkoneksinya untuk meneruskan panggilan yang diterusakan MS A’. Transaksi ini sudah termasuk dalam akonting trafik outgoing dari PSTN ke jaringan B.
LL. Mengubah Ketentuan pada Bab IV Butir 5.2.7, sehingga berbunyi:
MS A’ yang sedang menjelajah di jaringan B mengadakan panggilan ke MS A” di jaringan induknya (HPLMN-A) yang ditransitkan melalui PSTN.
Pembebanan:
A’ akan menerima tagihan dari HPLMN-A berdasarkan data yang diterima dari VPLMN-B.
Akonting:
Penyelenggara jaringan A akan didebet oleh penyelenggara jaringan B sesuai dengan biaya jelajah MS A’ di jaringan B. Penyelenggara jaringan B akan didebet oleh penyelenggara PSTN atas pemakaian jasa interkoneksinya untuk meneruskan panggilan dari A’ ke A”. Transaksi ini sudah termasuk dalam akonting trafik outgoing dari jaringan B ke PSTN.
Penyelenggara PSTN akan didebet oleh penyelenggara jaringan A atas pemakaian jasa interkoneksinya untuk meneruskan A”. Transaksi ini sudah termasuk dalam akonting trafik outgoing dari PSTN ke jaringan A.
MM. Mengubah Ketentuan pada Bab V Butir 3.1, sehingga berbunyi:
Keberhasilan ruting dalam lingkungan multi-jaringan dan multi-penyelenggara ditentukan oleh adanya perjanjian kerjasama (PKS) interkoneksi antara para penyelenggara yang terkait. Dalam Rencana Ruting ini hal-hal yang bersangkut-paut dengan PKS antar- penyelenggara tersebut dianggap telah diselesaikan dan tidak menjadi permasalahan lagi.
NN. Menambah Ketentuan butir 3.2.a baru pada Ketentuan Bab V Butir 3.2
3.2.a Ruting Transit (baru)
Yang dimaksud dengan ruting transit adalah pengaturan rute yang melibatkan lebih dari dua penyelenggara jaringan.
Untuk menjamin mutu pelayanan ujung ke ujung, ruting transit sedapat mungkin hanya melalui satu jaringan transit, yang dapat berupa jaringan lokal atau jaringan jarak jauh.
Bila ruting transit melibatkan lebih dari satu jaringan transit, maka pelaksanaan ruting antar jaringan transit tersebut harus memperhatikan mengenai ketentuan mengenai jatah QDU (Quantizing Distorsion Unit).
OO. Mengubah Ketentuan pada Bab V Butir 3.3.1, sehingga berbunyi:
Yang dimaksud dengan ruting lokal ialah pengaturan rute di dalam satu wilayah penomoran.
PP. Mengubah Ketentuan pada Bab V Butir 3.3.2, sehingga berbunyi:
Ruting lokal untuk panggilan dari satu jaringan asal, atau yang menuju ke suatu jaringan tujuan, dapat dilakukan melalui jaringan lokal lain yang berfungsi sebagai jaringan transit seperti diuraikan dalam butir 3.2.a. Jaringan asal, jaringan tujuan dan jaringan transit berada di dalam satu wilayah penomoran. Jumlah jaringan transit yang dilalui tidak boleh lebih dari satu.
QQ. Menambah Ketentuan Butir 3.2.3a baru pada Ketentuan Bab V Butir 3.3, sebagai berikut:
Penyelenggara jaringan lokal wajib menyalurkan kelebihan trafik, bila dalam sutau proses ruting terjadi pelimpahan (overflow) trafik. Pengaturan mengenai pelimpahan tersebut adalah sesuai kesepakatan antar penyelenggara-penyelenggara yang bersangkutan.
RR. Mengubah Ketentuan pada Bab V Butir 3.5.3, sehingga berbunyi:
Trafik masuk (incoming traffic) disalurkan melalui masing-masing jaringan sambungan internasional.
Sesuai kesepakatan antar-penyelenggara, trafik masuk (incoming traffic) yang seharusnya disalurkan melalui masing-masing jaringan sambungan internasional, karena keterbatasan tersedianya sarana dapat dilimpahkan ke jaringan lain.
SS. Mengubah Ketentuan pada Bab V Butir 4.1.1, sehingga berbunyi:
Panggilan lokal adalah panggilan telepon yang dilakukan oleh seorang pengguna ke pengguna lain atau ke pusat pelayanan yang berada di dalam sistem penomoran yang sama.
TT. Mengubah Ketentuan pada Bab V Butir 4.2, sehingga berbunyi:
4.2.1 Pada dasarnya omor khusus tidak berbeda dengan nomor pelanggan biasa. Karena itu, ketentuan tentang ruting untuk panggilan lokal berlaku juga untuk panggilan ke nomor khusus.
4.2.2 Pelayanan darurat (Polisi, ambulans, pemadam kebakaran, SAR) harus dapat dicapai dengan panggilan lokal dari setiap terminal yang tersambung ke jaringan nasional. Panggilan ke nomor darurat pelayanan harus disalurkan ke pelayanan darurat yang terdekat dengan lokasi pemanggil.
Sebagai penyelenggara jaringan tetap lokal, jaringan bergerak seluler dan jaringan bergerak satelit, dalam kaitannya dengan penyelenggaraan jasa teleponi dasar bertanggung jawab atas tersedianya akses ke pelayanan darurat bagi masing-masing pelanggannya.
Untuk tujuan efisiensi, penyelenggara baru jasa teleponi dasar pada jaringan tetap lokal, pada jaringan bergerak seluler, dan atau pada jaringan bergerak satelit, seyogyanya menjalin kerjasama dengan penyelenggara lain yang sudah menyediakan akses yang dimaksudkan, dan tidak membuatnya sendiri-sendiri. Untuk hal yang demikian, panggilan ke nomor pelayanan darurat harus disalurkan, sesuai nomor yang dipilih, ke pelayanan darurat yang dimaksud (lihat Bab II – Rencana Penomoran).
4.2.3 Nomor pelayanan pelanggan digunakan oleh masing-masing penyelenggara jaringan dan/ atau penyelenggara jasa untuk memberikan kemudahan bagi pelanggannya sendiri dalam memperoleh pelayanan. Oleh karena itu, panggilan ke nomor pelayanan pelanggan pada dasarnya hanya akan melibatkan ruting internal jaringan lokal yang bersangkutan (lihat Bab II – Rencana Penomoran).
4.2.4 Nomor pelayanan umum, diberikan kepada badan atau institusi tertentu yag berhubungan dengan pelayanan masyarakat luas. Panggilan tersebut harus disalurkan ke jaringan lokal yang melayaninya (lihat Bab II – Rencana Penomoran).
UU. Mengubah Ketentuan pada Bab V Butir 4.3.1, sehingga berbunyi:
Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) ialah penyelenggara hubungan telepon antara dua pengguna yang berada dalam wilayah penomoran yang berbeda.
VV. Mengubah Ketentuan pada Bab V Butir 4.3.6, sehingga berbunyi:
Pelaksanaan ruting untuk panggilan SLJJ harus disesuaikan dengan kemauan pengguna pemanggil, dalam kaitannya dengan penggunaan Prefiks Nasional dan Prefiks SLJJ (lihat Bab II—Rencana Penomoran):
a. Panggilan tersebut harus disalurkan ke jaringan SLJJ yang telah ditentukan oleh penyelenggara jasa SLJJ yang dipilih oleh pengguna pemaggil;
b. Penyelenggara jasa SLJJ yang dipilih oleh pengguna pemanggil yang bertanggung jawab atas tersedianya sarana transportasi (alur transmisi) mulai dari ‘titik keluar’ jaringan lokal tempat berakhirnya panggilan tersebut.
WW. Mengubah Ketentuan pada Bab V Butir 4.4.5, sehingga berbunyi:
Pelaksanaan ruting nasional untul panggilan internasional (outgoing) harus disesuaikan dengan kemajuan pengguna pemanggil, dalam kaitannya dengan penggunaan Prefiks SLI (lihat Bab II – Rencana Penomoran):
a. Panggilan tersebut harus disalurkan ke jaringan sambungan internasional yang telah ditentukan oleh penyelenggara jasa SLI yang dipilih oleh pengguna pemanggil;
b. Dalam hal panggilan SLI yang harus disalurkan melalui jaringan transit, penyelenggara jasa SLI yang dipilih oleh pengguna bertanggung jawab atas tersedianya sarana transportasi (alur transmisi) melalui jaringan transit yang diperlukan.
XX. Mengubah Ketentuan pada Bab V Butir 4.6.2, sehingga berbunyi:
Panggilan dari suatu terminal STBS ke terminal STBS lain yang berada dalam pengendalian jaringan STBS yang berbeda, disalurkan dengan cara berikut:
a) melalui rute langsung, antara kedua jaringan STBS yang bersangkutan;atau
b) melalui jaringan transit yang dipilih oleh jaringan STBS asal.
YY. Mengubah Ketentuan pada Bab V Butir 4.6.5, sehingga berbunyi:
Panggilan ke terminal STBS dari terminal PSTN/ISDN, atau arah sebaliknya, disalurkan dengan cara sebagai berikut:
a) melalui rute langsung, antara jaringan tetap lokal dan jaringan STBS yang bersangkutan; atau
b) melalui jaringan transit yang dipilih oleh jaringan lokal asal (atau jaringan STBS asal untuk arah panggilan sebaliknya).
ZZ. Mengubah Ketentuan pada Bab V Butir 4.10.1, sehingga berbunyi:
Trafik antar jaringan data publik dan jaringan tetap lokal dilewatkan ke titik akses yang terdekat, menggunakan aturan, pedoman ruting jaringan yang digunakan. Hubungan ke/ dari jaringan data publik dapat dilewatkan melalui jalur yang memakai perangkat pengendali gema (echo controller), hanya jika perangkat tersebut dapat dimatikan selama pembentukan hubungan.
Pasal II
A. Dengan berlakunya Keputusan ini, semua ketentuan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 4 Tahun 2001 tentang Penetapan Rencana Dasar Teknis Nasional 2000 (Fundamental Technical Plan National 2000) Pembangunan Telekomunikasi Nasional yang tidak mengalami perubahan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan ini.
B. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : JAKARTA
Pada tanggal : 11 MARET 2004
----------------------------------------------
MENTERI PERHUBUNGAN
ttd
AGUM GUMELAR, M.Sc.
SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada :
1. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
2. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
3. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan;
4. Menteri Pertahanan;
5. Menteri Perindustrian dan Perdagangan;
6. Menteri Negara Komunikasi dan Informasi;
7. Sekretaris Negara;
8. Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Para Direktur Jenderal dan Para Kepala Badan di lingkungan Departemen Perhubungan;
9. Para Kepala Biro dan Para Kepala Pusat di lingkungan Sekretariat Jenderal Departemen Perhubungan.
SALINAN sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan KSLN
ttd
KALALO NUGROHO, SH
NIP. 120105102